Minggu, 21 Oktober 2012

Makalah MMP Bab II

Bab II
Pembahasan


2.1 Perilaku Produktif

Pengertian perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang bisa diamati secara langsung atau yang tidak bisa diamati oleh pihak luar mengemukakan bahwa sebelum orang mengadopsi atau memunculkan perilaku yang baru, terjadi suatu proses yang berurutan di dalam diri orang tersebut, yaitu :
  1. Awareness (kesadaran), yang dimaksud dengan kesadaran disini adalah orang tersebut menyadari adanya stimulus.
  2.  Interest (ketertarikan), yaitu suatu keadaan dimana orang mulai tertarik kepada stimulus tertentu.
  3. Evaluation (melakukan evaluasi), yaitu mempertimbangkan baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya. Respon yang dimunculkan yaitu berupa suatu sikap tertentu, bisa berupa sikap yang positif maupun negatif terhadap stimulus.
  4. Trial (percobaan), yaitu suatu kondisi dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.
  5. Adoption (adopsi), yaitu subjek memunculkan perilaku yang baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan atau bersifat langgeng. Jadi, suatu pembentukan perilaku yang baru dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, antara lain pengetahuan, kesadaran dan sikap dari masing-masing individu. Ketiga faktor tersebut pada masing-masing individu tidak sama, karena setiap manusia diciptakan berbeda-beda. Oleh karena itu jika ingin memunculkan suatu perilaku yang baru yang bisa bertahan lama perlu dilakukan suatu penguatan akan munculnya perilaku yang baru, seperti yang diungkapkan Skinner bahwa pembentukan perilaku pada individu melalui faktor eksternal, yaitu dengan cara memberikan penguatan terhadap perilaku yang dimunculkan. Pemberian penguatan inilah yang bisa membentuk perilaku seorang individu.


2.2 Membentuk Iklim Kerja Produktif

Dapat bisa kita lihat hingga saat ini masih banyak pemilik atau pemimpin perusahaan yang menekankan perlunya membangun kekompakan di dalam sebuah organisasi atau perusahaan, tapi mungkin belum mengetahui bagaimana kekompakan tersebut sebetulnya dapat terbangun dengan sendirinya, tanpa adanya campur tangan yang terlalu banyak dari pihak manajemen perusahaan.
Lingkungan kerja yang produktif itu sendiri memiliki tiga faktor yang menjadi sebuah prasyarat utama:
1.      Tujuan yang sama
Dengan memiliki tujuan yang sama, maka seluruh anggota organisasi mau tidak mau dituntut untuk bisa bekerjasama dengan baik dan produktif, demi memudahkan pencapaian tujuan.
2.      Komunikasi terbuka
Dasar utama dari sebuah relasi positif antar manusia adalah komunikasi yang baik. Dalam sebuah organisasi, komunikasi yang baik bisa terbangun dengan melibatkan seluruh anggota organisasi, dimana mereka bisa bebas mengeluarkan pendapatnya secara terbuka dan yakin bahwa pendapat tersebut akan dihargai.
3.      Komitmen
Dua faktor diatas tidak mungkin bisa berjalan tanpa adanya komitmen yang sungguh-sungguh dari semua anggota dalam sebuah organisasi. Komitmen dapat ditumbuhkan dengan memastikan bahwa semua anggota mengetahui secara pasti apa yang diharapkan dari mereka, bentuk tanggung jawab apa yang mesti diemban, dan bagaimana mereka mesti mencapainya.

Manajer dan para staff memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan kerja yang produktif, tapi tanggung jawab yang mereka miliki itu dalam konteks hanya sekedar sebagai pelaksana sebuah kebijakan. Kebijakan untuk mewujudkan lingkungan kerja yang produktif itu sendiri merupakan tanggung jawab pemilik atau pimpinan perusahaan.
Lingkungan kerja yang produktif di mana terwujud kekompakan antaranggota sebuah organisasi itu sebetulnya satu hal yang tidak dapat dipaksakan, tapi dapat diciptakan. Pemilik atau pemimpin perusahaan harus mengetahui secara pasti budaya organisasi atau budaya kerja seperti apa yang ingin diciptakan dalam perusahaannya, nilai-nilai apa yang ingin ditanamkan dalam benak para karyawannya, visi perusahaan seperti apa yang ingin dicapai, iklim kerja seperti apa yang bisa mendorong para karyawan untuk punya sense of belonging yang tinggi terhadap perusahaan. Dari situlah para pemilik atau pemimpin perusahaan kemudian bisa merunut ke belakang untuk mendapat gambaran lebih jelas mengenai karakter orang seperti apa yang dirasa tepat untuk bekerja di perusahaannya, karena bagaimanapun juga lebih mudah bagi seseorang untuk mengadopsi budaya atau nilai-nilai perusahaan bila budaya atau nilai-nilai tersebut memiliki kesamaan dengan kepribadian dan nilai-nilai individual yang dianutnya.


2.3 Manajemen Perubahan

            Dewasa ini jika kita mengamati berbagai hal di sekitar kita, khususnya untuk konteks organisasi bisnis, maka dapat diidentifikasi beberapa perubahan yang telah terjadi di dunia bisnis, di antaranya:
-          daur hidup produk yang menjadi lebih singkat akibat tingkat kompetisi yang sangat tinggi
-          berubahnya lingkungan bisnis yang sangat cepat dari lokal hingga global
-          adanya globalisasi di berbagai kegiatan ekonomi dunia, teknologi, dan termasuk juga inovasi
-          perubahan paradigma bisnis dari berbasis produk ke berbasis pelanggan

Satu-satunya cara agar dapat menghadapi perubahan adalah dengan menempatkan perubahan sebagai teman yang memberikan peluang untuk tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, manajemen perubahan adalah manajemen perusahaan yang dilakukan sebagai pola dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi dalam dunia bisnis.
      Berbagai perubahan di duni paling tidak dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu perubahan yang bersifat berfluktuatif dan tidak menentu dan perubahan yang mengejutkan dan tidak dapat diprediksi. Agar perusahaan dapat menghadapi perubahan ini, salah satu jalan yang perlu dilakukan adalah bagaimana perubahan-perubahan tersebut dibaca kecenderungannya untuk kemudian diminimumkan resikonya dan mengubah resiko tersebut menjadi sebuah peluang untuk melakukan perubahan. Di sinilah ide dari sebuah manajemen perubahan diperkenalkan.
      Terdapat enam langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan manajemen perubahan:
1.      Envisioning
Langkah pertama di mana manajer memberikan inspirasi dan ide mengenai perubahan kepada staff manajemen di perusahaan.
2.      Activating
Proses sosialisasi dari inspirasi dan ide mengenai perubahan yang harus dilakukan kepada seluruh bagian di organisasi sehingga seluruh anggota organisasi menyadari penuh perlunya perubahan dilakukan untuk memastikan masa depan perusahaan.
3.      Supporting
Melakukan identifikasi akan berbagai sumber daya yang diperlukan untuk perubahan yang akan dilakukan dalam manajemen perusahaan.
4.      Installing
Setelah ide dan rencana perubahan diidentifikasi, dilanjutkan dengan pengambilan keputusan mengenai perubahan yang akan dilakukan untuk kemudian disosialisasikan untuk dijalankan di perusahaan.
5.      Ensuring
Setelah rencana tersebut disosialisasikan, harus dipastikan bahwa seluruh kegiatan atau rencana berjalan lancar.
6.      Recognizing
Langkah terakhir dalam manajemen perubahan adalah melakukan identifikasi atas apa yang belum dilakukan dan menentukan apa saja yang belum tercapai oleh perusahaan sehubungan dengan perubahan yang terjadi.


2.4 Moral Kerja

Yang dimaksud dengan moral adalah suasana batiniah seseorang yang mempengaruhi perilaku individu dan perilaku organisasi. Suasana batiniah itu terwujud di dalam aktivitas individu pada saat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Suasana batin yang dimaksud berupa perasaan senang atau tidak senang, bergairah atau tidak bergairah dan bersemangat atu tidak bersemangat dalam melakukan suatu pekerjaan.
Proses manajemen dan leadership yang efektif memerlukan moral kerja yang positif dalam arti suasana batin yang menyenangkan hingga memiliki semangat yang tinggi dalam melakukan pekerjaan. Moral kerja yang tinggi merupakan dorongan bagi terciptanya usaha berpartisipasi secara maksimal dalam kegiatan organisasi/kelompok, guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya moral kerja seseorang. Dalam kegiatan manajemen dan leadership pendidikan, moral kerja yang tinggi dari setiap SDM yang terlibat di dalamnya, merupakan faktor yang menentukan bagi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Berbagai faktor itu di antaranya adalah sebagai berikut :
a.       Sebagian orang memandang bahwa minat / perhatian terhadap pekerjaan berpengaruh terhadap moral kerja. Bilamana seseorang merasa bahwa minat/perhatiannya seusai dengan jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan maka akan memiliki moral kerja yang tinggi.
b.      Sebagian lainnya menempatkan faktor upah atau gaji penting dalam meningkatkan moral kerja. Upah atau gaji yang tinggi dipandang sebagai faktor yang dapat mempertinggi moral kerja.
c.       Di samping itu ada kelompok orang yang memandang faktor status sosial dari pekerjaan dapat mempengaruhi moral kerja. Pekerjaan yang dapat memberikan status sosial atau posisi yang tinggi/baik (misalnya, sebagai kepala, staf pimpinan, kepala bagian dan sebagainya) menurut kelompok ini akan mempertinggi moral kerja.
d.      Sekolompok lain memandang tujuan yang mulia atau pekerjaan yang mengandung pengabdian merupakan faktor yang dapat mempertinggi moral kerja. Tujuan dan sifat pengabdian diri dalam suatu pekerjaan mengakibatkan seseorang bersedia mendertia, berkorban harta benda dan bahkan jiwanya demi terwujudnya pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
e.       Kelompok terakhir memandang faktor suasana kerja dan hubungan kemanusiaan yang baik, sehingga setiap orang merasa diterima dan dihargai dalam kelompoknya dapat mempertinggi moral kerja.

2.4.1 Motivasi Dalam Pekerjaan

Seseorang bekerja karena adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, di mana kebutuhan dasar manusia itu banyak ragamnya. Menurut Maslow kebutuhan dasar manusia ini ada beberapa tingkatan :
1.      Kebutuhan fisik (physical needs)
Yang meliputi kebutuhan sehari-hari untuk makan, minum, berpakaian, bertempat tinggal, berrumahtangga dan sejenisnya.
2.      Kebutuhan keamanan (safety needs)
Yang meliputi kebutuhan untuk memperoleh keselamatan, keamanan, jaminan atau perlindungan dari ancaman-ancaman yang membahayakan kelangsungan hidupnya.
3.      Kebutuhan Sosial (social needs)
Kebutuhan untuk disukai dan menyukai, dicintai dan mencintai, bergaul, bermasyarakat dan sejenisnya.
4.      Kebutuhan pengakuan (the needs of esteems)
Kebutuhan untuk memperoleh kehormatan, penghormatan, pujian, penghargaan dan pengakuan.
5.      Kebutuhan mengaktualisasikan diri (the needs for self actualization)
Kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan, keagungan, kekaguman dan kemasyhuran sebagai orang yang memiliki kemampuan dan keberhasilan dalam mewujudkan potensi bakatnya dengan hasil prestasi yang luar biasa.

Selain itu dalam melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan yang bersifat sadar, seseorang selalu didorong oleh maksud atau motif tertentu, baik yang obyektif maupun subyektif. Motif atau dorongan dalam melakukan sesuatu pekerjaan itu sangat besar pengaruhnya terhadap moral kerja dan hasil kerja. Seseorang bersedia melakukan sesuatu pekerjaan bilamana motif yang mendorongnya cukup kuat yang pada dasarnya tidak mendapat saingan atau tantangan dari motif lain yang berlawanan. Demikian pula sebaliknya orang lain yang tidak didorong oleh motif yang kuat akan meninggalkan atau sekurang-kurangnya tidak bergairah dalam melakukan sesuatu pekerjaan.
Semua faktor yang telah disebutkan di atas pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk motif yang mendorong seseorang melakukan pekerjaannya secara bersunguh-sungguh. Dalam hubungan itu dapat dibedakan dua jenis motif yakni :
1.      Motif intrinsik, yakni dorongan yang terdapat dalam pekerjaan yang dilakukan. Misalnya : bekerja karena pekerjaan itu sesuai dengan bakat dan minat, dapat diselesaikan dengan baik karena memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam menyelesaikannya dan lain-lain.
2.      Motif ekstrinsik, yakni dorongan yang berasal dari luar pekerjaan yang sedang dilakukan. Misalnya : bekerja karena upah atau gaji yang tinggi mempertahankan kedudukan yang baik, merasa mulia karena pengabdian dan sebagainya.

Motif intrinsik dan ekstrinsik bersumber dari tiga teori motif, sebagai berikut :
1.      Teori psikoanalisa, yang menekankan pada pengalaman masa kanak-kanak sebagai motif yang dapat dan selalu mendorong seseorang melakukan sesuatu perbuatan. Orang merasa senang dan puas melakukan sesuatu pekerjaan karena pengaruh masa lampaunya. Misalnya orang yang puas bekerja pada bidang yang tidak menuntut tanggung jawab, mungkin karena pengaruh masa lampaunya di mana yang bersangkutan tidak pernah mendapat kesempatan untuk bertanggung jawab atas perbuatannya karena selalu terlindung oleh orang tua, terlalu tergantung pada orang tua dan sebagainya.
2.      Teori Gestalt dari Lewin, yang menekankan pada pengaruh kekuatan situasi yang sedang dihadapi oleh seseorang . Perasaan senang dan puas mengerjakan sesuatu disebabkan oleh karena dengan pekerjaan itu yang bersangkutan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Misalnya : seseorang terdorong untuk bekerja dengan baik karena memperoleh upah yang tinggi sehingga dapat mencukupi kebutuhan material hidupnya, yang tidak akan diperolehnya jika bekerja di bidang lain. Situasi masyarakat pada saat itu menempatkan penilaian jumlah materi yang dimiliki seseorang sebagai ukuran kemuliaan atau kebahagian hidup.
3.      Teori Allport yang menekankan pentingnya kekuasaan “AKU” dalam melakukan suatu pekerjaan. Seseorang merasa terdorong melakukan pekerjaan karena orang tersebut mendapat kesempatan mengatur, menguasai, memerintah orang lain. Orang yang bersangkutan merasakan AKU berperanan dan berkuasa sehingga dapat mewujudkan kehendak dan cita-cita di dalam suatu pekerjaan dengan menggunakan orang lain sebagai alat.

Sepanjang motif pendorong menurut ketiga teori itu bersifat wajar dan objektif sehingga seseorang melakukan suatu pekerjaan, maka motif itu dapat menjadi motif intrinsik atau ekstrinsik yang positif bagi pengembangan moral kerja. Sebaliknya bilamana bersifat berlebihan sehingga tidak wajar, baik bersifat ekstrim kurang maupun lebih, maka akan menajdi motif intrinsik yang subyektif bagi pembinaan moral kerja. Dalam hal yang terakhir, sepanjang tidak merugikan usaha-usaha kerjasama / organisasi terutama dalam peningkatan produktifitas kerja masih mungkin untuk dimanfaatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar