Bab
II
Pembahasan
2.1 Perilaku Produktif
Pengertian perilaku (manusia) adalah
semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang bisa diamati secara langsung
atau yang tidak bisa diamati oleh pihak luar mengemukakan bahwa sebelum orang mengadopsi atau memunculkan perilaku yang
baru, terjadi suatu proses yang berurutan di dalam diri orang tersebut, yaitu :
- Awareness (kesadaran), yang dimaksud
dengan kesadaran disini adalah orang tersebut menyadari adanya stimulus.
- Interest (ketertarikan), yaitu
suatu keadaan dimana orang mulai tertarik kepada stimulus tertentu.
- Evaluation (melakukan evaluasi), yaitu
mempertimbangkan baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya. Respon yang
dimunculkan yaitu berupa suatu sikap tertentu, bisa berupa sikap yang
positif maupun negatif terhadap stimulus.
- Trial (percobaan), yaitu suatu
kondisi dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.
- Adoption (adopsi), yaitu subjek
memunculkan perilaku yang baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan
sikapnya terhadap stimulus.
Apabila penerimaan perilaku baru
atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan,
kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan
atau bersifat langgeng. Jadi, suatu pembentukan perilaku
yang baru dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, antara lain pengetahuan,
kesadaran dan sikap dari masing-masing individu. Ketiga faktor tersebut pada
masing-masing individu tidak sama, karena setiap manusia diciptakan
berbeda-beda. Oleh karena itu jika ingin memunculkan suatu perilaku yang baru
yang bisa bertahan lama perlu dilakukan suatu penguatan akan munculnya perilaku
yang baru, seperti yang diungkapkan Skinner bahwa pembentukan perilaku pada individu melalui faktor eksternal,
yaitu dengan cara memberikan penguatan terhadap perilaku yang dimunculkan.
Pemberian penguatan inilah yang bisa membentuk perilaku seorang individu.
2.2 Membentuk Iklim
Kerja Produktif
Dapat bisa kita lihat hingga saat
ini masih banyak pemilik atau pemimpin perusahaan yang menekankan perlunya
membangun kekompakan di dalam sebuah organisasi atau perusahaan, tapi mungkin
belum mengetahui bagaimana kekompakan tersebut sebetulnya dapat terbangun
dengan sendirinya, tanpa adanya campur tangan yang terlalu banyak dari pihak
manajemen perusahaan.
Lingkungan kerja yang produktif itu
sendiri memiliki tiga faktor yang menjadi sebuah prasyarat utama:
1. Tujuan
yang sama
Dengan
memiliki tujuan yang sama, maka seluruh anggota organisasi mau tidak mau
dituntut untuk bisa bekerjasama dengan baik dan produktif, demi memudahkan
pencapaian tujuan.
2. Komunikasi
terbuka
Dasar
utama dari sebuah relasi positif antar manusia adalah komunikasi yang baik.
Dalam sebuah organisasi, komunikasi yang baik bisa terbangun dengan melibatkan
seluruh anggota organisasi, dimana mereka bisa bebas mengeluarkan pendapatnya
secara terbuka dan yakin bahwa pendapat tersebut akan dihargai.
3. Komitmen
Dua faktor
diatas tidak mungkin bisa berjalan tanpa adanya komitmen yang sungguh-sungguh
dari semua anggota dalam sebuah organisasi. Komitmen dapat ditumbuhkan dengan
memastikan bahwa semua anggota mengetahui secara pasti apa yang diharapkan dari
mereka, bentuk tanggung jawab apa yang mesti diemban, dan bagaimana mereka
mesti mencapainya.
Manajer dan para staff memiliki
tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan kerja yang produktif, tapi tanggung
jawab yang mereka miliki itu dalam konteks hanya sekedar sebagai pelaksana
sebuah kebijakan. Kebijakan untuk mewujudkan lingkungan kerja yang produktif
itu sendiri merupakan tanggung jawab pemilik atau pimpinan perusahaan.
Lingkungan kerja yang produktif di mana
terwujud kekompakan antaranggota sebuah organisasi itu sebetulnya satu hal yang
tidak dapat dipaksakan, tapi dapat diciptakan. Pemilik atau pemimpin perusahaan
harus mengetahui secara pasti budaya organisasi atau budaya kerja seperti apa
yang ingin diciptakan dalam perusahaannya, nilai-nilai apa yang ingin
ditanamkan dalam benak para karyawannya, visi perusahaan seperti apa yang ingin
dicapai, iklim kerja seperti apa yang bisa mendorong para karyawan untuk punya sense
of belonging yang tinggi terhadap perusahaan. Dari situlah para pemilik
atau pemimpin perusahaan kemudian bisa merunut ke belakang untuk mendapat
gambaran lebih jelas mengenai karakter orang seperti apa yang dirasa tepat
untuk bekerja di perusahaannya, karena bagaimanapun juga lebih mudah bagi
seseorang untuk mengadopsi budaya atau nilai-nilai perusahaan bila budaya atau
nilai-nilai tersebut memiliki kesamaan dengan kepribadian dan nilai-nilai
individual yang dianutnya.
2.3 Manajemen Perubahan
Dewasa ini
jika kita mengamati berbagai hal di sekitar kita, khususnya untuk konteks
organisasi bisnis, maka dapat diidentifikasi beberapa perubahan yang telah
terjadi di dunia bisnis, di antaranya:
-
daur
hidup produk yang menjadi lebih singkat akibat tingkat kompetisi yang sangat
tinggi
-
berubahnya
lingkungan bisnis yang sangat cepat dari lokal hingga global
-
adanya
globalisasi di berbagai kegiatan ekonomi dunia, teknologi, dan termasuk juga
inovasi
-
perubahan
paradigma bisnis dari berbasis produk ke berbasis pelanggan
Satu-satunya cara agar dapat
menghadapi perubahan adalah dengan menempatkan perubahan sebagai teman yang
memberikan peluang untuk tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, manajemen
perubahan adalah manajemen perusahaan yang dilakukan sebagai pola dalam
menghadapi berbagai perubahan yang terjadi dalam dunia bisnis.
Berbagai
perubahan di duni paling tidak dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu
perubahan yang bersifat berfluktuatif dan tidak menentu dan perubahan yang
mengejutkan dan tidak dapat diprediksi. Agar perusahaan dapat menghadapi
perubahan ini, salah satu jalan yang perlu dilakukan adalah bagaimana
perubahan-perubahan tersebut dibaca kecenderungannya untuk kemudian
diminimumkan resikonya dan mengubah resiko tersebut menjadi sebuah peluang
untuk melakukan perubahan. Di sinilah ide dari sebuah manajemen perubahan
diperkenalkan.
Terdapat
enam langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan manajemen perubahan:
1. Envisioning
Langkah
pertama di mana manajer memberikan inspirasi dan ide mengenai perubahan kepada
staff manajemen di perusahaan.
2. Activating
Proses
sosialisasi dari inspirasi dan ide mengenai perubahan yang harus dilakukan
kepada seluruh bagian di organisasi sehingga seluruh anggota organisasi
menyadari penuh perlunya perubahan dilakukan untuk memastikan masa depan
perusahaan.
3. Supporting
Melakukan
identifikasi akan berbagai sumber daya yang diperlukan untuk perubahan yang
akan dilakukan dalam manajemen perusahaan.
4. Installing
Setelah
ide dan rencana perubahan diidentifikasi, dilanjutkan dengan pengambilan
keputusan mengenai perubahan yang akan dilakukan untuk kemudian
disosialisasikan untuk dijalankan di perusahaan.
5. Ensuring
Setelah
rencana tersebut disosialisasikan, harus dipastikan bahwa seluruh kegiatan atau
rencana berjalan lancar.
6. Recognizing
Langkah terakhir dalam manajemen
perubahan adalah melakukan identifikasi atas apa yang belum dilakukan dan
menentukan apa saja yang belum tercapai oleh perusahaan sehubungan dengan
perubahan yang terjadi.
2.4 Moral Kerja
Yang dimaksud dengan moral adalah
suasana batiniah seseorang yang mempengaruhi perilaku individu dan perilaku
organisasi. Suasana batiniah itu terwujud di dalam aktivitas individu pada saat
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Suasana batin yang dimaksud berupa
perasaan senang atau tidak senang, bergairah atau tidak bergairah dan
bersemangat atu tidak bersemangat dalam melakukan suatu pekerjaan.
Proses manajemen dan leadership yang
efektif memerlukan moral kerja yang positif dalam arti suasana batin yang
menyenangkan hingga memiliki semangat yang tinggi dalam melakukan pekerjaan.
Moral kerja yang tinggi merupakan dorongan bagi terciptanya usaha
berpartisipasi secara maksimal dalam kegiatan organisasi/kelompok, guna
mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya moral kerja seseorang. Dalam kegiatan manajemen
dan leadership pendidikan, moral kerja yang tinggi dari setiap SDM yang
terlibat di dalamnya, merupakan faktor yang menentukan bagi tercapainya tujuan-tujuan
pendidikan. Berbagai faktor itu di antaranya adalah sebagai berikut :
a.
Sebagian
orang memandang bahwa minat / perhatian terhadap pekerjaan berpengaruh terhadap
moral kerja. Bilamana seseorang merasa bahwa minat/perhatiannya seusai dengan
jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan maka akan memiliki moral kerja yang
tinggi.
b.
Sebagian
lainnya menempatkan faktor upah atau gaji penting dalam meningkatkan moral
kerja. Upah atau gaji yang tinggi dipandang sebagai faktor yang dapat
mempertinggi moral kerja.
c.
Di
samping itu ada kelompok orang yang memandang faktor status sosial dari
pekerjaan dapat mempengaruhi moral kerja. Pekerjaan yang dapat memberikan
status sosial atau posisi yang tinggi/baik (misalnya, sebagai kepala, staf
pimpinan, kepala bagian dan sebagainya) menurut kelompok ini akan mempertinggi
moral kerja.
d.
Sekolompok
lain memandang tujuan yang mulia atau pekerjaan yang mengandung pengabdian
merupakan faktor yang dapat mempertinggi moral kerja. Tujuan dan sifat
pengabdian diri dalam suatu pekerjaan mengakibatkan seseorang bersedia
mendertia, berkorban harta benda dan bahkan jiwanya demi terwujudnya pekerjaan
yang menjadi tanggung jawabnya.
e.
Kelompok
terakhir memandang faktor suasana kerja dan hubungan kemanusiaan yang baik,
sehingga setiap orang merasa diterima dan dihargai dalam kelompoknya dapat
mempertinggi moral kerja.
2.4.1 Motivasi Dalam
Pekerjaan
Seseorang bekerja karena adanya
dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, di mana kebutuhan dasar manusia itu
banyak ragamnya. Menurut Maslow kebutuhan dasar manusia ini ada beberapa
tingkatan :
1.
Kebutuhan
fisik (physical needs)
Yang meliputi kebutuhan sehari-hari
untuk makan, minum, berpakaian, bertempat tinggal, berrumahtangga dan
sejenisnya.
2.
Kebutuhan
keamanan (safety needs)
Yang meliputi kebutuhan untuk
memperoleh keselamatan, keamanan, jaminan atau perlindungan dari
ancaman-ancaman yang membahayakan kelangsungan hidupnya.
3.
Kebutuhan
Sosial (social needs)
Kebutuhan untuk disukai dan
menyukai, dicintai dan mencintai, bergaul, bermasyarakat dan sejenisnya.
4.
Kebutuhan
pengakuan (the needs of esteems)
Kebutuhan untuk memperoleh
kehormatan, penghormatan, pujian, penghargaan dan pengakuan.
5.
Kebutuhan
mengaktualisasikan diri (the needs for
self actualization)
Kebutuhan untuk memperoleh
kebanggaan, keagungan, kekaguman dan kemasyhuran sebagai orang yang memiliki
kemampuan dan keberhasilan dalam mewujudkan potensi bakatnya dengan hasil
prestasi yang luar biasa.
Selain itu dalam melakukan suatu
pekerjaan atau perbuatan yang bersifat sadar, seseorang selalu didorong oleh
maksud atau motif tertentu, baik yang obyektif maupun subyektif. Motif atau
dorongan dalam melakukan sesuatu pekerjaan itu sangat besar pengaruhnya
terhadap moral kerja dan hasil kerja. Seseorang bersedia melakukan sesuatu
pekerjaan bilamana motif yang mendorongnya cukup kuat yang pada dasarnya tidak
mendapat saingan atau tantangan dari motif lain yang berlawanan. Demikian pula
sebaliknya orang lain yang tidak didorong oleh motif yang kuat akan
meninggalkan atau sekurang-kurangnya tidak bergairah dalam melakukan sesuatu
pekerjaan.
Semua faktor yang telah disebutkan
di atas pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk motif yang mendorong seseorang
melakukan pekerjaannya secara bersunguh-sungguh. Dalam hubungan itu dapat
dibedakan dua jenis motif yakni :
1.
Motif
intrinsik, yakni dorongan yang terdapat dalam pekerjaan yang dilakukan.
Misalnya : bekerja karena pekerjaan itu sesuai dengan bakat dan minat, dapat
diselesaikan dengan baik karena memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam
menyelesaikannya dan lain-lain.
2.
Motif
ekstrinsik, yakni dorongan yang berasal dari luar pekerjaan yang sedang
dilakukan. Misalnya : bekerja karena upah atau gaji yang tinggi mempertahankan
kedudukan yang baik, merasa mulia karena pengabdian dan sebagainya.
Motif intrinsik dan ekstrinsik
bersumber dari tiga teori motif, sebagai berikut :
1.
Teori
psikoanalisa, yang menekankan pada pengalaman masa kanak-kanak sebagai motif
yang dapat dan selalu mendorong seseorang melakukan sesuatu perbuatan. Orang
merasa senang dan puas melakukan sesuatu pekerjaan karena pengaruh masa
lampaunya. Misalnya orang yang puas bekerja pada bidang yang tidak menuntut
tanggung jawab, mungkin karena pengaruh masa lampaunya di mana yang
bersangkutan tidak pernah mendapat kesempatan untuk bertanggung jawab atas
perbuatannya karena selalu terlindung oleh orang tua, terlalu tergantung pada
orang tua dan sebagainya.
2.
Teori
Gestalt dari Lewin, yang menekankan pada pengaruh kekuatan situasi yang sedang
dihadapi oleh seseorang . Perasaan senang dan puas mengerjakan sesuatu
disebabkan oleh karena dengan pekerjaan itu yang bersangkutan dapat
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Misalnya : seseorang terdorong untuk
bekerja dengan baik karena memperoleh upah yang tinggi sehingga dapat mencukupi
kebutuhan material hidupnya, yang tidak akan diperolehnya jika bekerja di
bidang lain. Situasi masyarakat pada saat itu menempatkan penilaian jumlah
materi yang dimiliki seseorang sebagai ukuran kemuliaan atau kebahagian hidup.
3.
Teori
Allport yang menekankan pentingnya kekuasaan “AKU” dalam melakukan suatu
pekerjaan. Seseorang merasa terdorong melakukan pekerjaan karena orang tersebut
mendapat kesempatan mengatur, menguasai, memerintah orang lain. Orang yang
bersangkutan merasakan AKU berperanan dan berkuasa sehingga dapat mewujudkan
kehendak dan cita-cita di dalam suatu pekerjaan dengan menggunakan orang lain
sebagai alat.
Sepanjang motif pendorong menurut
ketiga teori itu bersifat wajar dan objektif sehingga seseorang melakukan suatu
pekerjaan, maka motif itu dapat menjadi motif intrinsik atau ekstrinsik yang
positif bagi pengembangan moral kerja. Sebaliknya bilamana bersifat berlebihan sehingga
tidak wajar, baik bersifat ekstrim kurang maupun lebih, maka akan menajdi motif
intrinsik yang subyektif bagi pembinaan moral kerja. Dalam hal yang terakhir,
sepanjang tidak merugikan usaha-usaha kerjasama / organisasi terutama dalam
peningkatan produktifitas kerja masih mungkin untuk dimanfaatkan.