Sabtu, 14 Mei 2011

Suap Orang Tua di Negara Dunia Ketiga


Banyak kelompok di Amerika baik mahasiswa maupun organisasi kemahasiswaan memprotes perusahaan-perusahaan besar atas tuduhan memekerjakan anak-anak di bawah umur, terutama di pabrik-pabrik yang didirikan di negara-negara dunia ketiga. Memang kita patut setuju bahwa kita harus menyelamatkan masa depan anak-anak tersebut. Namun kita harus menyadari bahwa alasan utama adanya buruh anak di bawah umur karena faktor kemiskinan, bukan para pemilik usaha yang serakah.

Menurut Gary Becker, kunci pertumbuhan ekonomi bagi banyak negara adalah modal manusia. Maka dari itu, untuk melawan dampak kemiskinan tersebut ibu-ibu yang miskin harus disuap agar tetap mau menyekolahkan anak-anak mereka.

Keluarga-keluarga yang benar-benar miskin di Brasil, Meksiko, Zaire, India, dan negara-negara lainnya menyuruh anak-anak mereka bekerja karena penghasilan mereka sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kenyataannya mereka tahu bahwa jika anak-anak mereka disekolahkan akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pekerja-pekerja yang terampil di kemudian hari. Pada intinya buruh anak adalah hasil konflik antara kebutuhan ekonomi jangka pendek orang tua dan kepentingan jangka panjang anak-anak tersebut.

Banyak negara yang membuat peraturan wajib belajar hingga usia 15 tahun. Kerap kali hukum ini sulit ditegakkan, terutama di daerah pedesaan dan daerah miskin perkotaan. Pihak yang berwenang sering kali enggan menghukum orang tua yang menyuruh anaknya bekerja karena mereka menyadari bahwa masalahnya bukanlah keegoisan orang tua, namun kemiskinan.

Gary Bercker menyarankan suatu jalan yang lebih baik, yaitu memberikan insntif finansial kepada orang tua agar mereka mau menyekolahkan anak mereka lebih lama lagi. Para ibu yang miskin perlu diberi bonus uang jika ada surat keterangan dari sekolah yang menyatakan anak mereka hadir secara rutin di kelas. Dengan demikian para orang tua akan termotivasi untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

Rencana tersebut telah dijalankan pemerintah Meksiko dan dinamakan Progressa. Program tersebut telah melayani lebih dari dua juta keluarga yang tidak mampu. Ibu-ibu yang menyekolahkan anaknya dengan rutin, naik kelas, dan selalu mendapat pemeriksaan kesehatan rutin akan diberi uang oleh pemerintah pusat sebesar rata-rata $25 per keluarga melihat sebagian besar keluarga miskin di Meksiko hanya menghasilkan $100 per bulan. Dengan tambahan uang yang cukup besar tersbut diharapkan perilaku mereka dapat banyak berubah.

Terobosan pendekatan yang dilakukan pemerintah Meksiko ini ternyata sukses. Evaluasi yang dipersiapkan untuk konferensi ekonomi di Cile menunjukkan bahwa hanya dalam jangka waktu dua tahun, Progressa mampu meningkatkan jumlah anak yang bersekolah dari golongan miskin di Meksiko. Program ini juga telah mengurangi tingkat partisipasi buruh anak.

Jelas saja pemerintah memerlukan dana dari pajak untuk membiayai program tersebut. Langkah awal yang baik adalah memahami bahwa banyak negara tertinggal sering kali menghabiskan dananya secara tidak proporsional untuk universitas dan pendidikan lain kaum elite-nya. Mendistribusi ulang dana kaum elite ini kepada rakyat miskin akan mengurangi ketimpangan dan merangsang pertumbuhan ekonomi.